Selasa, Februari 26, 2008

Tali Leher alias Dasi

Siapa sih yang sebenarnya bikin aturan pake tali leher ato biasa disebut dasi? Sampe sekarang aku belum tau apa fungsi daripada yang namanya dasi selain bikin aku susah nafas. Oiya lupa, waktu sekolah dulu kadang-kadang juga make dasi sebagai lap ingus.

Dan ternyata aku terjebak aturan harus pake dasi kalo tugas luar. “Maaf pak, sales dilarang masuk” begitulah kadang-kadang satpam menyapa, habisnya pake dasi naik motor. Aturan itu benar-benar menyiksa, lha wong masang kancing baju yang paling atas aja susah alias gak muat, maklumlah ukuran XXXL.

Sedangkan pekerjaanku yang jadi kusir dan kurir mengharuskanku blusukan keluar masuk kampung. Ke ke alas jati pake dasi, ke hutan sawit pake dasi, ke sungai barito pake dasi, ke rawa gambut pake dasi, aaaarrgh…

Mbok ya kita lebih percaya diri dengan budaya kita. India bisa bikin roket gak pake dasi, Iran bisa bikin nuklir gak pake dasi, katanya orang jepang pas musim panas juga gak pake dasi, orang bule yang kerja di bumi pertiwi juga jarang pake dasi. Mending kalo di negoro Londo yang bersalju, yang butuh baju rapat dan lehernya diikat biar hangat. Lha seperti kita yang hidup di negara tropis dengan hutan yang mulai habis, ya jelas sumuklah.

Beberapa waktu yang lalu SBY juga sering gembar-gembor tentang hemat energi, gak pake AC, gak pake lift, pake baju tahan sumuk. SBY kemana-mana juga sering pake baju batik lengan pendek, pantes, gagah, isis. Jadi kenapa harus pake dasi?

nb: efek samping pergi kelamaan gak pulang-pulang jadinya ngedumel pelan-pelan takut kedengeran ama yang ngasih ongkos jalan. Ke Batam tiga minggu gak boleh nyebrang, jadinya malah liat nyang aneh-aneh.

Jumat, Februari 22, 2008

d i l e m a

Ketika apa yang dilaksanakan tidak sesuai teori di bangku sekolah
Sikut kanan sikut kiri menendang yang lemah
Mengikuti nafsu serakah
Terbawa hawa amarah
Haruskah aku menyerah?

Dan ternyata...
Aku hanya mampu ambil opsi termudah
Menyatakan tidak setuju dalam hati dengan menunduk pasrah

Payah!!!

Rabu, Februari 20, 2008

Loncat Batu Nias Kena Tsunami ?

Tadinya aku mau jalan ke Langkat, tapi begitu denger ada temen cewek yang mau ke Nias, aku langsung kepikiran loncat batu, surfing dan tentu saja tsunami. Rayuan gombal dan intimidasi segera kukeluarkan, yang jauhlah, makan susah, gak ada yang jualan bedak, perginya pake pesawat capung, dan cerita-cerita lain tentang kesengsaraan di pulau terpencil. Akhirnya dengan segala daya dan upaya, jadi juga aku berangkat ke Nias gantiin temen cewek tadi.

Sampai di Polonia, ada 2 pesawat yang berangkat ke Nias dengan tiket setara ongkos Jakarta Medan. Merpati dengan CN235, DAS dengan fokker. Dua-duanya cukup besar berpenumpang sekitar 50 orang, pesawat capung yang hanya muat 6 orang sudah pensiun. Fiuhh, untuuung… Daripada penasaran aku berangkat naik CN235 dan pulang naik fokker. Naik CN235 adalah penerbangan ternyaman yang pernah kurasakan karena pas take off dan landing nyaris tanpa goncangan yang berarti. Mungkin itu karena kecanggihan pak Habibie, yang merancang pesawat sesuai dengan kondisi geografis Indonesia.

Turun di Bandara Binaka Nias disambut dengan sapi di pinggir landasan dan mobil-mobil besar dobel gardan dengan stiker LSM internasional. Yaahowu, begitulah ucapan salam orang Nias, maknanya seperti horasnya orang batak. Perjalanan darat ke kota Gunung Sitoli sekitar 20 menit terasa mulus tanpa ada tanda-tanda keganasan tsunami. Begitu masuk kota baru terlihat ada bangunan lama yang miring berserakan dan bangunan sekolah yang masih dalam tahap pengerjaan. Dampaknya juga terlihat dari air sumur yang berwarna kuning karat, berminyak, berbuih, dan berbau aneh, kaos putih berubah jadi kuning kalo dicuci. Aku menginap di Mess Pemda karena hotel yang ada lumayan jauh dari kota. Sebagian besar penduduk Nias non Muslim, daging babi banyak dijual di pasar umum dan di pinggir jalan. Jadi pagi sarapan masakan padang, makan siang masakan padang, makan malam masakan padang lagi tiap hari!! Serasa jadi orang kaya selama 13 hari aku cuci muka dan gosok gigi dengan air mineral. Mandi dan ganti baju, he he he…

Di desa Tohia masih ada madrasah ibtidaiyah (setingkat SD) yang menempati barak menempel pada masjid kampung, karena tanah dan bangunannya habis tersapu ombak tsunami. Barak kayu dengan ukuran 4x12 meter disekat jadi empat ruangan. Setiap ruang untuk dua kelas, satu menghadap utara yang lain menghadap selatan. Dibeberapa tempat masih nampak tenda-tenda penampungan korban tsunami yang sebagian masih dihuni.

Acara lompat batu sekarang hanya dilakukan kalo ada turis yang bersedia membayar. Selancar? Boro-boro, berenang aja aku gak bisa. Orang luar negri yang biasa selancar sekarang alih profesi jadi pekerja sosial. Tapi pantai Nias masih indah, udara masih segar, kelapa muda masih manis, digunung air masih jernih, sirine tanda tsunami sekali-sekali masih terdengar, dan bumi kadang-kadang masih bergoyang diiringi kepanikan penduduk setempat yang lari keluar rumah menyelamatkan diri takut tsunami datang lagi. Begitu juga aku.

Pulang aaah...

Selasa, Februari 12, 2008

Antariksa-Desa Gumati

Sudah tahu kan kalo di daerah puncak sampai Sukabumi banyak hotel dan vila? Misalnya Hotel Antariksa di daerah Cidahu Sukabumi. Jaraknya sih tidak terlalu jauh, tapi waktu tempuh yang diperlukan lama karena jalannya sempit, banyak pasar tumpah, tentu saja macet. Tapi kalo mau, pengelola dapat menyediakan forider untuk membuka jalan. Perjalanan bisa sampai dua jam dari pintu tol Ciawi, bis gak bisa masuk lokasi karena memang di kampung banget. Kalo untuk liburan sih cocok banget, sepi, sejuk, dikelilingi kebun teh, gunung Gede dan gunung Pangrango. Gambar di atas itu pas sunrise.

Masih ada kabut di kaki gunung, apalagi kalau sore kabutnya lebih tebal lagi, jarak pandang cuma 10 meter. Disana bisa mancing, outbond, teawalking, karaoke, bakar kambing & ikan, ato sekedar tiduran sambil minum wedang jahe. Kamarnya berupa bungalow yang jaraknya berjauhan. Ada sih ruang rapatnya, tapi kalo kesana untuk kerja bawaannya males karena lokasinya yang berjauhan dan konturnya naik turun. Tarif juga lumayan, bisa dinego.

Nah kalo yang males jauh-jauh dan macet-macet dan pegel-pegel dan capek di jalan, ternyata di daerah Sentul ada juga lho hotel yang nyaman. Namanya Desa Gumati. Ini bukan nama desa, cuma nama hotel, lokasi tepatnya di desa Cijulang. Tepatnya dari Jakarta keluar pintu tol Sentul Selatan belok kiri, sebelum gapura Bukit Sentul belok kiri lagi. Suasana dan fasilitasnya hampir sama dengan Antariksa, cuma lebih dekat, kurang sejuk, dan tanpa kabut. Di depan hotel ada danau buatan dengan panggung di tengahnya, di samping ruang makan dialirkan air sungai komplit dengan gemuruh suaranya. Cuma kamarnya menyatu tiga lantai, jadi kalau sekalian ada meeting juga masih oke. Tapi kalau untuk kegiatan kantor yang agak serius, mending menggunakan hotel bintang empat di Jakarta macam Santika atau Mercure, karena tarifnya lebih murah dan fasilitasnya lebih komplit. Ini gambar Desa Gumati malam hari.

Memang dua tempat tadi lebih cocok untuk liburan atau kegiatan informal, semi formal juga masih cocok ding. Tapi asik banget kok, sueger. Apalagi untuk orang-orang yang tiap hari ketemu macetnya Jakarta dan gak pernah liat matahari dari rumah, berangkat kerja jam 5 pagi sampe rumah jam 8 malam. Tapi pikir-pikir dulu kalau mau ngundang orang luar Jakarta untuk kegiatan di tempat ini, biasanya mereka akan berkomentar "orang gunung kok diajak ke gunung!!".

Jumat, Februari 01, 2008

Bandara Sultan Hasanudin

Makassar punya bandara baru! Yang ini lebih canggih, lebih luas, dan lebih nyaman. Bangunannya mirip hanggar pesawat, dengan material dari baja dan kaca membuat membuat bangunan ini tampak modern. Bagus juga bandara ini, lapangan parkirnya lapang, ruangannya tinggi, mushollanya luas, konter check in dan toko sovenirnya banyak, serta banyak kamera keamanan besar-besar terpasang disana-sini. Bandara ini baru beroperasi sekitar awal tahun ini. Dulu pada saat diresmikan hanya ada tulisan “Hasanuddin Makassar”, gak tau siapa yang protes, pas aku ke sana tulisan itu sedang dalam proses dilengkapi menjadi “Sultan Hasanuddin Makassar”.

Sebagaimana layaknya bandara baru, disana-sini masih terlihat sedikit perbaikan, keamanan masih ketat, detektor logamnya tajam aktif buanget, dan petugas kebersihan banyak terlihat dimana-mana. Hampir semua orang tidak bisa langsung lolos ketika lewat detektor logam, mesin itu langsung teriak2, tapi pas diperiksa petugas keamanan gak ditemukan apa-apa. Begitu mau naik ke pesawat, KTP diperiksa ulang untuk dicocokin dengan tiket dan boarding pass. Semoga aja bisa tetep terjaga, kan untuk keamanan kita juga.

Tapi (hmmm, mulai nyela nih), pintu keluar ruang tunggu keberangkatan gak dijaga, jadi orang bisa gampang keluar masuk. Sopir garbatalanya juga seperti kurang terlatih, beberapa kali maju mundur baru pas terpasang dengan pintu pesawat. Bahkan ketika aku baru sampai terpaksa harus turun lewat tangga belakang karena garbatalanya gak bisa terpasang dengan tepat. Nah satu lagi, kamar kecilnya bener-bener kecil dan krannya sudah ada yang rusak dan bocor, jadi bagi tubuhku yang oversize agak susah bermanuver di kamar kecil. Kalo hal-hal kecil tadi diperbaiki, bisa jadi akan membuat bandara ini semakin bagus dan nyaman...