Rabu, Februari 20, 2008

Loncat Batu Nias Kena Tsunami ?

Tadinya aku mau jalan ke Langkat, tapi begitu denger ada temen cewek yang mau ke Nias, aku langsung kepikiran loncat batu, surfing dan tentu saja tsunami. Rayuan gombal dan intimidasi segera kukeluarkan, yang jauhlah, makan susah, gak ada yang jualan bedak, perginya pake pesawat capung, dan cerita-cerita lain tentang kesengsaraan di pulau terpencil. Akhirnya dengan segala daya dan upaya, jadi juga aku berangkat ke Nias gantiin temen cewek tadi.

Sampai di Polonia, ada 2 pesawat yang berangkat ke Nias dengan tiket setara ongkos Jakarta Medan. Merpati dengan CN235, DAS dengan fokker. Dua-duanya cukup besar berpenumpang sekitar 50 orang, pesawat capung yang hanya muat 6 orang sudah pensiun. Fiuhh, untuuung… Daripada penasaran aku berangkat naik CN235 dan pulang naik fokker. Naik CN235 adalah penerbangan ternyaman yang pernah kurasakan karena pas take off dan landing nyaris tanpa goncangan yang berarti. Mungkin itu karena kecanggihan pak Habibie, yang merancang pesawat sesuai dengan kondisi geografis Indonesia.

Turun di Bandara Binaka Nias disambut dengan sapi di pinggir landasan dan mobil-mobil besar dobel gardan dengan stiker LSM internasional. Yaahowu, begitulah ucapan salam orang Nias, maknanya seperti horasnya orang batak. Perjalanan darat ke kota Gunung Sitoli sekitar 20 menit terasa mulus tanpa ada tanda-tanda keganasan tsunami. Begitu masuk kota baru terlihat ada bangunan lama yang miring berserakan dan bangunan sekolah yang masih dalam tahap pengerjaan. Dampaknya juga terlihat dari air sumur yang berwarna kuning karat, berminyak, berbuih, dan berbau aneh, kaos putih berubah jadi kuning kalo dicuci. Aku menginap di Mess Pemda karena hotel yang ada lumayan jauh dari kota. Sebagian besar penduduk Nias non Muslim, daging babi banyak dijual di pasar umum dan di pinggir jalan. Jadi pagi sarapan masakan padang, makan siang masakan padang, makan malam masakan padang lagi tiap hari!! Serasa jadi orang kaya selama 13 hari aku cuci muka dan gosok gigi dengan air mineral. Mandi dan ganti baju, he he he…

Di desa Tohia masih ada madrasah ibtidaiyah (setingkat SD) yang menempati barak menempel pada masjid kampung, karena tanah dan bangunannya habis tersapu ombak tsunami. Barak kayu dengan ukuran 4x12 meter disekat jadi empat ruangan. Setiap ruang untuk dua kelas, satu menghadap utara yang lain menghadap selatan. Dibeberapa tempat masih nampak tenda-tenda penampungan korban tsunami yang sebagian masih dihuni.

Acara lompat batu sekarang hanya dilakukan kalo ada turis yang bersedia membayar. Selancar? Boro-boro, berenang aja aku gak bisa. Orang luar negri yang biasa selancar sekarang alih profesi jadi pekerja sosial. Tapi pantai Nias masih indah, udara masih segar, kelapa muda masih manis, digunung air masih jernih, sirine tanda tsunami sekali-sekali masih terdengar, dan bumi kadang-kadang masih bergoyang diiringi kepanikan penduduk setempat yang lari keluar rumah menyelamatkan diri takut tsunami datang lagi. Begitu juga aku.

Pulang aaah...

1 komentar:

peranita mengatakan...

tano niha...Aku yang di sumut aja blom pernah singgah kesana. hiks!
mungkin suatu saat nanti.

konon pulau yang indah.
tsunami tak separah aceh, tapi dampaknya menyedihkan bernama kemiskinan.